Waktu masih remaja dulu, hal yang paling senang saya lakukan adalah menjahili teman-teman yang latah. Ketika dikejutkan oleh sesuatu, orang yang latah akan menimbulkan reaksi yang berbeda-beda. Ada yang menyebutkan ‘perabotan penting manusia’, adapula yang dipadu dengan gerakan-gerakan refleks, dan bahkan ada pula yang istighfar meskipun masih dalam keadaan latah. Kadang saya sampai lupa diri hingga mereka ngos-ngosan karena harus mengulang-ulang kata yang sama terus menerus. Bila sudah begitu, beberapa orang teman yang merasa kasihan biasanya selalu mengingatkan saya agar tidak keterlaluan.
Namun budaya latah bukanlah sifat yang hanya dimiliki oleh perseorangan. Perhatikanlah akhir-akhir ini. Budaya warisan nenek moyang yang dulu hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah uzur atau ibu-ibu yang beranak banyak, kemudian merasuki budaya anak muda pada pertengahan dekade 90-an hingga saat ini. Pada masa-masa itu, sudah menjadi hal yang lumrah bila ada anak muda yang latah. Yang lebih lucunya lagi, kini budaya latah merambah ke lembaga-lembaga dan perusahaan-perusahaan.
Sebut saja dunia televisi. Bila salah satu stasiun sukses menayangkan program tertentu, maka hanya dalam hitungan minggu saja duplikat acara tersebut sudah muncul di TV lain. Saya ambil contoh ketika maraknya televisi mengangkat tema dunia gaib. Sebentar saja acara-acara serupa bermunculan di semua stasiun televisi. Mulai dari Dunia Gaib, Uji Nyali, Uka-uka, de el el. Kemudian saat muncul sinetron-sinetron bernuansa Islami, maka stasiun televisi berbondong-bondong membuat acara serupa. Kini stasiun televisi di negeri ini sedang keranjingan kontes-kontesan. Mulai dari AFI, Stardut, Mamamia, KDI, dan masih banyak lagi.
Tampaknya sudah tidak ada lagi ide dan kreatifitas di dunia pertelevisian kita. Bahkan acara Mamamia yang ditayangkan oleh Indosiar kini menduplikasi diri menjadi Supermama dan Superstar Show yang sebenarnya masih dalam konsep dan bahkan panggung yang sama. Tidak dapat dipungkiri, televisi dinegeri ini bernafas melalui iklan, iklan terpasang karena rating. Maka selama rating acara tersebut berada di atas, lupakanlah kreatifitas. Kalau singkong saja laku keras, buat apa jual roti?
Namun sayangnya, hal ini menimbulkan dampak yang akhirnya mempengaruhi pola pikir masyarakat. Acara-acara yang semestinya dilestarikan akhirnya ikut terbawa arus musiman. Kemana sekarang acara Da’i Cilik yang pernah ditayangkan di TPI? Atau acara-acara seperti Tolong, Rumah Idaman yang membantu kesusahan kaum papa.
Saya tidak menyayangkan bila acara tersebut sudah tidak ada. Namun yang saya sayangkan, mengapa harus ditayangkan bila tidak berkelanjutan? Bukankah hal tersebut akhirnya hanya menjadi tren populer yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sementara moralitas hanyalah sebagai topeng kaum kapitalis. Yang sekedar menempelkan Adzan Maghrib sebagai simbol bahwa kita bangsa yang beragama. Lalu kemana adzan-adzan yang lainnya?
Dengan kalimat sederhana, pertelevisian kita saat ini tak lebih dari sebuah pabrikasi makanan cepat saji yang harus kita nikmati setiap hari suka atau tidak suka karena memang tidak ada pilihan lain.
Selamat menikmati!
PS: Bersama artikel ini saya memohon maaf kepada teman-teman latah yang dulu sering saya kerjain … Doorrrrrr!!! :D
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment